Selasa, 16 Juli 2013

SELAYANG PANDANG PP. BUQ BETENGAN DEMAK



BIOGRAFI PENDIRI PONDOK PESANTREN
BUSATNU ‘USYSYAQIL QUR’AN

Putra Teladan Seorang Ulama’ Besar Di Jawa
Sejarah pesantren, sebagaimana sering dipahami orang tidak akan terlepas dari sejarah pendirinya dan para kyainya. Hal ini dapat kita maklumi karena kyai merupakan elemen terpenting dalam sebuah pesantren. Bahkan, tidak akan disebut pesantren bila tidak ada kyainya.
Begitu pula yang terjadi di pondok pesantren Bustanu ‘Usysyaqil Qur’an (BUQ). Pondok ini didirikan oleh seorang ulama’ yang memiliki sejarah dan nasab yang cemerlang. Beliau adalah KH. R. Muhammad, putra dari KH. Mahfuzh At Tarmasi, seorang ulama’ jawa yang aktif dalam percaturan pemikiran ulama-ulama Timur Tengah pada abad ke-18 Masehi. Hal ini dapat kita ketahui dari kitab-kitab karangannya yang cukup berpengaruh terhadap ulama-ulama pada masa itu. Di antara kitabnya adalah Mauhibah Dzil al-Fadl Syarh Bafadhal di bidang figih sebanyak empat jilid (sudah tercetak) dan disempurnakan dengan jilid kelima dengan judul Takmilah Mauhibah Dzil al-Fadl (belum tercetak). Kitab ini merupakan komentar terhadap kitab karya Ibnu Hajar. Selain itu, karya monumental beliau adalah Manhaj Dzawi an-Nazhar di bidang Musthalah Hadits. Masih banyak lagi karya beliau yang belum terpublikasikan.
Selain pada karya-karya beliau di atas, kebesaran KH. Mahfuzh juga tampak pada murid-murid beliau yang kelak menjadi ulama-ulama masyhur di Tanah Air. Di antara mereka adalah
- KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang Jawa Timur, yang merupakan pendiri Nahdlatul ‘Ulama, organisasi terbesar di Indonesia.
- KH. Munawir dari Krapyak Yogyakarta, pendiri Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak.
- KH. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum.
- KH. Asnawi dari Kudus Jawa Tengah.
- KH. Dalhar dari Watucongol Muntilan.
Kedalaman dan keluasan ilmu KH. Mahfuzh membuat beliau di percaya untuk menjadi mufti di Makkah dan mengajar di Masjidil Haram. Keagungan beliau tersebut, tampaknya memberikan pengaruh tersendiri bagi putra beliau. Apalagi sejak kecil, KH.R. Muhammad, sang putra tersebut sudah terbiasa mengikuti ayahnya ketika mengajar di Masjidil Haram serta melakukan thawaf di Baitullah. Hal itu agaknya membangkitkan cinta beliau terhadap ilmu-ilmu agama. Hingga suatu ketika datang seorang santri yang hendak menimba ilmu kepada KH. Mahfuzh. Orang itu adalah KH. Munawir yang kelak menjadi pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Saat itu KH. Munawir sedang menunaikan ibadah haji bersama istri beliau. Begitu menyadari bahwa santri tersebut mampu mengkhatamkan Al Qur’an dengan sekali thawaf, KH. Mahfuzh berpesan pada Putranya agar mampu menirunya.
Pada saat berusia 9 tahun, KH. Mahfuzh berpulang ke Rahmatullah, hingga R. Muhammad menjadi yatim piatu. Sementara Muslimah, sang ibunda yang berasal dari Demak, telah wafat terlebih dahulu dan dimakamkan di daerah asal beliau tersebut. Sedangkan sang ayahanda dimakamkan di Makkah. Menurut keterangan yang disampaikan Syekh Thohir kepada KH. Muhdi Taslim (adik ipar R. Muhammad), ketika menunaikan ibadah haji tahun 1963-jasad KH. Mahfuzh masih utuh. Hal itu diketahui ketika makam tersebut digali untuk dipindahkan ke tempat lain, akhirnya, menurut Syekh Thohir, pemindahan itu tidak jadi dilakukan karena tidak mungkin memindahkan makam orang yang selalu dijaga oleh Allah.

Demi Permata Ilmu, Kembali Ke Tanah Jawa
Dengan meniggalnya kedua orang tua, R. Muhammad akhirnya dibawa boyong ke Tanah Air, oleh KH. Munawwir, sesuai melaksanakan ibadah haji dan menimba ilmu kepada KH. Mahfuzh meski tidak lama. Hal itu dilakukan oleh KH. Munawwir karena beliau telah diwasiati oleh KH. Mahfuzh untuk mendidik anaknya di bidang hafalan Al Qur’an. Sesampai di Tanah Air, kemudian beliau diserahkan oleh KH. Munawwir kepada KH. Dimyati, kakak KH. Mahfuzh, yang merupakan pengasuh Pondok Tremas saat itu, KH. Dimyati menyerahkan R. Muhammad kepada KH. Munawwir untuk dididik menghafal Al Qur’an.
Kemudian, R. Muhammad diambil KH. Munawwir sebagai anak angkat yang sangat disayangi hingga seakan melebihhi kasih sayang terhadap putra-putra beliau sendiri. Selama kurang lebih 4 tahun, beliau belajar di Pondok Krapyak. Sehabis menimba ilmu disana, beliau diserahkan kembali kepada sang paman, KH. Dimyati di Pondok Tremas. Di Pondok tersebut, R. Muhammad diasuh dan diawasi langsung oleh KH. Dimyati dan dibantu oleh KH. Ali Ma’shum, putra KH. Ma’shum dari Lasem, yang menjadi menantu KH. Munawwir. Kemudian, setelah cukup banyak ilmu agama yang dikuasai, KH. Dimyati memerintahkannya untuk ber-tabarruk-an kepada KH. Ma’shum Lasem.

E p i l o g
Sebagaimana diketahui bersama, perkembangan zaman semakin maju. Informasi yang bukan berasal dari ajaran Al Qur’an datang membanjiri pikiran kita dengan tak terbendung. Informasi-informasi itu pun dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat terutama generasi muda Islam. Untuk mengantisipasi hal itu, perlu adanya balance dan filter agar masyarakat, khususnya generasi muda islam, tidak terjerumus kepada informasi yang menyesatkan. Dengan demikian, mereka kelak bisa betul-betul diharapkan menjadi generasi penerus agama, bangsa, dan negara yang baik serta bertanggung jawab amat dikenal dan dihormati oleh masyarakat Demak. Apalagi pada saat itu, ulama yang hafizh Al Qur’an memang masih sedikit sekali. Namun, pada tahun 1920-an, beliau meninggal dunia. Seorang saudagar Demak, H. taslim, yang merupakan teman dekat Kyai Apil, merasa kehilangan sekali atas meninggalnya Kyai tersebut. Karena itulah, ia pun berkeinginan untuk mendapatkan seorang menantu hafizh yang dapat mengajarkan Al Qur’an kepada masyarakat Demak.
Tidak berlangsung lama, keinginan H. Taslim tersebut akhirnya terwujud. Teryata keponakan beliau, R. Muhammad, adalah seorang remaja yang hafizh al Qur’an sekaligus menguasai ilmu-ilmu agama. Sang paman pun menaruh simpati kepadanya. Karena itulah, beliau berusaha agar bisa menjodohkannya dengan salah seorang putrinya yang bernama Fathimah. Alhamdulillah, usaha dan do’a beliau dikabulkan oleh Allah sehingga akhirnya R. Muhammad dapat diambil sebagai menantu.
Setelah menjadi menantu H. Taslim, R. Muhammad masih mengajar di Pondok Tremas selama satu tahun. Usai waktu rentang tersebut, baru beliau pulang ke rumah mertuanya di Demak. Kepulangan beliau disertai pula oleh santri-santri beliau yang menghafalkan Al Qur’an di Tremas. Kurang lebih tiga tahun beliau tinggal bersama mertua sembari mengajarkan ilmu yang ia kuasai, terutama ilmu Al Qur’an kepada para muridnya
Memenuhi Panggilan Jihad
Tatkala usia beliau menginjak remaja, R. Muhammad sering berkunjung ke Demak untuk menyambung tali silaturrahmi dengan keluarga besar ibundanya. Pada masa itu pula, kurang lebih tahun 1990-an, di Demak hiduplah seorang ulama hafizh Al Qur’an bernama kyai Ali Hafizh yang biasa di panggil Kyai Apil. Beliau
amat dikenal dan dihormati oleh masyarakat Demak. Apalagi pada saat itu, ulama yang hafizh Al Qur’an memang masih sedikit sekali. Namun, pada tahun 1920-an, beliau meninggal dunia. Seorang saudagar Demak, H. taslim, yang merupakan teman dekat Kyai Apil, merasa kehilangan sekali atas meninggalnya Kyai tersebut. Karena itulah, ia pun berkeinginan untuk mendapatkan seorang menantu hafizh yang dapat mengajarkan Al Qur’an kepada masyarakat Demak.
Tidak berlangsung lama, keinginan H. Taslim tersebut akhirnya terwujud. Teryata keponakan beliau, R. Muhammad, adalah seorang remaja yang hafizh al Qur’an sekaligus menguasai ilmu-ilmu agama. Sang paman pun menaruh simpati kepadanya. Karena itulah, beliau berusaha agar bisa menjodohkannya dengan salah seorang putrinya yang bernama Fathimah. Alhamdulillah, usaha dan do’a beliau dikabulkan oleh Allah sehingga akhirnya R. Muhammad dapat diambil sebagai menantu.
Setelah menjadi menantu H. Taslim, R. Muhammad masih mengajar di Pondok Tremas selama satu tahun. Usai waktu rentang tersebut, baru beliau pulang ke rumah mertuanya di Demak. Kepulangan beliau disertai pula oleh santri-santri beliau yang menghafalkan Al Qur’an di Tremas. Kurang lebih tiga tahun beliau tinggal bersama mertua sembari mengajarkan ilmu yang ia kuasai, terutama ilmu Al Qur’an kepada para muridnya

Berpindah ke Tempat Baru
Melihat semakin banyaknya santri yang belajar kepada beliau, H. Taslim, sang mertua, dan masyarakat sekitar, mendorong beliau untuk mendirikan pondok pesantren. Hal itu juga guna menampung para santri yang sebagian bertempat di rumah mertuanya dan sebagian di rumah-rumah penduduk. Akhirnya pada tahun 1936, beliau mendirikan sebuah pesantren di daerah Betengan Bintoro Demak. Pendirian pesantren tersebut juga atas restu dari guru-guru beliau, yaitu KH. Ma’shum Lasem, KH. Masyur Popongan Klaten, dan KH. Munawwir Krapyak Yogyakarta. Pesantern ini di beri nama oleh KH. Munawwir dengan “Bustanu ‘Usysyaqil Qur’an” yang berarti taman para perindu al Qur’an. Disinilah beliau kemudian hidup mandiri mengembangkan ilmu-ilmu yang di perolehnya. Di sini pula, beliau membangun rumah tangga bersama istri tercinta yang kelak memberi beliau enam orang putra
Kepribadian KH. R. Muhammad bin Mahfuzh At Tarmasi
Dengan berpindah ke tempat tersebut, beliau mengajarkan Al Qur’an kepada para santri dengan sungguh-sungguh bahkan kebanyakan kehidupan beliau dicurahkan untuk mendidik para santri, beliau dikenal sangat disiplin. Beliau selalu hadir di majlis pengajian dengan tepat dan tidak mengakhiri pengajian sebelum jam yang ditetapkan.
Lebih-lebih pada bulan Romadlon, kedisiplinan beliau akan selalu ditekankan.

Beliau juga sangat mengajarkan santrinya untuk selalu rajin (mempeng = jawa) yang merupakan salah satu modal utama guna meraih kesuksesan menuntut ilmu. Bahkan, salah satu santri beliau menjabarkan ajaran tersebut kepada penulis, “Ibarate seliramu sedino ngendok peng limo, iku luweh apik tenimbang seliramu samben dino poso, ning tura-turu tok!” dalam bahasa Indonesia kira-kira maksudnya adalah “Ibaratnya kamu sehari masak/makan lima kali asal mau rajin serta sungguh-sungguh dalam belajar, maka hal itu lebih baik daripada kamu setiap hari puasa tapi tidur melulu!”
Disamping kesibukan mengajar para santri, KH. R. Muhammad selalu menyempatkan diri untuk menghatamkan Al Qur’an dalam sehari. Bahkan, dari beberapa keterangan yang penulis terima, beliau terbiasa menghatamkan Al Qur’an 30 juz dalam waktu yang relatif singkat, yaitu lebih kurang tiga puluh menit.

Berpulang ke Rahmatullah
Setelah mengasuh Pondok Pesantren BUQ sekian lama beliau diberi Allah cobaan. Salah seorang anggota keluarga beliau yang juga teman akrab dalam bermusyawaroh, yaitu KH. Hamid Tremas, meninggal dunia karena dibunuh PKI pada peristiwa pemberontakan PKI Madiun. Atas meninggalnya KH. Hamid tersebut, KH. R. Muhammad merasa terpukul dan dirundung duka cita yang mendalam. Hingga akhirnya, beliau pun jatuh sakit selama sekitar satu tahun.
Kemudian pada tahun 1975, beliau berpulang ke Rahmatullah, menghadap sang Kholiq. Namun, ketika masih dalam keadaan sakit, beliau sempat berwasiat kepada adik ipar beliau yang bernama KH. Muhdi Taslim untuk meneruskan Pondok Pesantren BUQ ini. Pada waktu itu, beliau di karuniai empat orang anak, tiga orang prempuan dan satu orang laki-laki. Anak lelaki satu-satunya tersebut merupakan anak bungsu dan bernama Harir Muhammad. Ia baru berusia satu tahun ketika di tinggal wafat sang ayahnda, KH. R. Muhammad.

PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN
BUSTANU ‘USYSYAQIL QUR’AN
Sepeninggal KH. Raden Muhammad, KH. Muhdi Taslim meneruskan Pondok Pesantren BUQ ini sampai tahun 1975. pada pertengahan masa kepemimpinan beliau tersebut, sekitar tahun 1965, KH. Muhdi Taslim dibantu oleh menantu KH. Muhammad yang bernama KH. Abdullah Zainuri. Pada masa kepemimpinan KH. Muhdi Taslim inilah berdiri Pondok putri.
Seiring waktu terus berlalu, anak bungsu KH. R. Muhammad, yaitu Harir Muhammad pun menginjak dewasa. Ia telah menjadi seorang hafizh dan menguasai
pengetahuan agama yang cukup usai menimba ilmu di beberapa pesantren. Ia kemudian pulang ke Betengan pada tahun 1975. Dengan kepulangannya ke
Betengan, ia di amanati KH. Muhdi Taslim untuk meneruskan Pesatren peningalan ayahandanya ini sampai sekarang.
Sebagaimana sebelumnya, Pesantren BUQ telah hadir ditengah masyarakat sejak tahun 1936. hal itu merupakan suatu rentang waktu yang cukup panjang untuk perjalanan sebuah pesantren. Banyak yang telah dihasilkan oleh Pesantren ini, terutama penghafal Al Qur’an (Hufazh) yang kini tersebar di seluruh pelosok tanah air. Ini berarti pula Pesantren BUQ telah ikut andil memunculkan orang-oarang yang akan menjaga kemurnian Al Qur’an dan menyebarkan ajaran-ajaran mulia yang dikandungnya.
Disamping itu, Pondok Pesatren Bustanu ‘Usysyaqil Qur’an telah banyak mengukur prestasi, baik ditingkat daerah, nasional, dan internasional. Diantara prestasi-prestasi yang diraih tersebut,
 Juara ke enam dan masuk The Biq Ten dalam MHQ di Makkah Al Mukarromah pada tahun 1980 atas nama Harir Muhammad
 Juara I MHQ putri di Aceh pada MTQ Nasional tahun 1981 atas nama Siti Hajar
 Juara III MHQ putri di Aceh pada MTQ Nasional tahun 1981 atas nama Zilaikha
 Juara I MHQ putri pada MTQ di Lampung tahun 1987 atas nama Mutammimah
 Juara I putra pada MHQ Nasional yang diadakan oleh Jam’iyatul Qurro’ Wal Huffazh Nahdlotul Ulama di Garut pada tahun 1994 atas nama Mudhofir
 Juara I MHQ putri se Jawa-Madura di Pekalongan tahun 1981 atas nama Siti Hajar
Sedangkan untuk tingkat daerah banyak sekali prestasi yang telah direbut.

PROGAM PENDIDIKAN, USAHA, DAN KETERAMPILAN
PONDOK PESANTREN BUSTANU ‘USYSYAQIL QUR’AN

Proses pendidikan dan pengajaran yang berlangsung sejak tahun 1936 tersebut telah cukup memberikan pengalaman-pengalaman yang sangat berharga bagi pengembangan BUQ, baik dalam system pendidikan, materi pengajian, maupun keterampilan penunjang lainnya. Sudah barang tentu hal ini dilakukan atas asumsi bahwa alumni pesantren BUQ harus mampu berdikari dan berkiprah di tengah masyarakatnya.
Untuk itu secara sekilas perlu kami paparkan beberapa kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakan oleh PP. BUQ.

1. Program TPQ/TPA
Taman pendidikan Al Qur’an adalah salah satu lembaga pendidikan anak yang ditekankan pada pengenalan Al Qur’an, penghayatan, dan pengamalan Al Qur’an yang nantinya menjadi generasi Islam yang berprilaku Qur’ani.
Taman pendidikan Al Qur’an BUQ menargetkan kepada santri didik untuk dapat
menyelesaikan qira’ah Qur’an bin nazhor dalam jangka waktu dua tahun. Di samping itu mereka juga ditanamkan sopan-santun serta do’a-do’a sehari-hari, yang bisa mereka amalkan di kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

2. Progam Ta’limul Qur’an bin-Nazhor
Dalam program Ta’limul Qur’an ini, peserta didik diajarkan membaca Al Qur’an dengan baik dan tartil sesuai dengan kaidah-kaidah pembacaan yang benar (ilmu tajwid). Program ini sebagai landasan bagi para santri untuk mengikuti program selanjutnya, yaitu program Ta’limul Qur’an bil Ghoib dan program Qira’ah Sab’ah.
Metode belajar mengajar dalam program ini adalah dengan musyafahah, sema’an bergantian dan deresan
 Musyafahah/Talaqqi, yaitu tatap muka langsung antara murid dan guru dengan berhadap-hadapan (face to face), kemudian sang guru membetulkan bacaan-bacaan yang keliru dari sang murid.
 Sema’an bergantian, yaitu salah seorang santri membaca surat-surat pendek dari Al Qur’an (juz amma) secara hafalan atau bil ghoib, kemudian santri yang lain menyimak untuk membetulkan bacaan apabila terjadi kekeliruan.
 Deresan, yaitu santri membaca Al Qur’an sendiri-sendiri dan berkumpul pada waktu dan tempat tertentu guna mempersiapkan pelajaran berikutnya.

3. Progam Tahfizhul Qur’an (bil ghoib)
Kelanjutan dari program Ta’limul Qur’an bin Nazhor, adalah Ta’limul Qur’an bil Ghoib. Dalam program ini, para santri dididik menghafalkan Al Qur’an sebagai langkah untuk menjaga kemurnian kandungan Al Qur;an dari perubahan. Hal itu karena Al Qur’an merupakan sumber dari segala dasar kehidupan manusia muslim di muka bumi ini yang harus dijaga kemurniannya.
Metode belajar-mengajar pada program ini adalah musyafahah, deresan, dan sema’an
 Musyafahah/Talaqqi, yaitu tatap muka langsung antara murid dan guru dengan berhadap-hadapan (face to face). Sang murid membaca Al Qur’an dengan
melihat langsung mushaf (bin nazhor), kemudian sang guru membetulkan bacaan-bacaan yang keliru dari sang murid. Metode ini dilaksanakan terhadap santri yang menyetor hafalannya kepada guru/kyai. Kemudian, kegiatan ini dilakukan setiap hari dua kali, yaitu pada ba’da shubuh dan ba’da ashar.
 Sema’an
a. Sema’an bergantian dua orang, yaitu salah seorang santri membaca Al Qur’an
secara hafalan atau bil ghoib, kemudian santri lain yang menyimak untuk membetulkan bacaan apabila terjadi kekeliruan. Sema’an ini dilakukan minimal satu juz setiap kali pertemuan. Kegiatan ini dilakukan dua kali sehari, yaitu pada jam 09.30 WIB dan ba’da Isya’ sampai jam 21.00 WIB.
b. Sema’an Halaqoh. Sema’an ini dilakukan oleh kelompok, yang rata-rata terdiri dari empat orang. Setiap kelompok terdiri dari santri-santri yang rata-rata telah memperoleh hafalan berimbang. Kegiatan ini dilakukan setiap Selasa dan Jum’at mulai ba’da shubuh sampai jam 07.00 WIB. Setiap pertemuan, Al Qur’an yang dibaca sebanyak dua setengah juz dari dari hafalan-hafalan yang terdahulu. Setiap santri membaca satu halaman secara bergantian.
c. Sema’an Ahad Legi. Sema’an ini dilakukan tiap bulan pada tiap hari Ahad Legi. Sema’an ini dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu 1-5 juz, 6-10 juz, 11-15 juz, 16-20 juz, 21-25 juz dan 1-30 juz. Setiap kelompok berjumlah sekitar empat orang yang terdiri dari santri-santri yang rata-rata memperoleh hafalan berimbang. Setiap santri membaca satu halaman secara bergantian. Para petugas penyemaknya terdiri dari para santri huffazh yang tidak mendapat tugas membaca serta dari para santri bin nazhor.
d. Dalam acara sema’an ini juga diadakan pembacaan do’a untuk mereka yang ingin agar arwah keluarga mereka dido’akan dengan wasilah khataman Al Qur’an, baik dari kalangan santri maupun masyarakat luar. Setiap arwah yang dido’akan, dikenai infaq Rp. 3.000,- atau 3 Kg beras guna membiayai syukuran khataman dan minuman para pembaca serta penyimak.
e. Sema’an dalam rangka “ujian” tingkat ke jenjang hafalan berikutnya. Sema’an ini wajib dilakukan ketika santri telah menyelesaikan hafalannya sebanyak 5 juz dan kelipatannya, misalnya 5 juz, 10 juz, 15 juz, dan seterusnya. Apabila santri belum mampu melaksanakan sema’an tersebut, maka tidak diperbolehkan menambah hafalan berikutnya. Sema’an harus disaksikan oleh minimal dua orang penyimak. Hasil dari sema’an tersebut dicatat dalam sebuah formulir yang diperiksa oleh pengurus huffazh dan kyai, kemudian dikirimkan ke orang tua/wali santri masing-masing. Dalam setiap juz, minimal terdapat dua kesalahan. Apabila jumlah kesalahan lebih dari dua, maka santri harus mengulang sema’an tersebut, dan belum diperbolehkan ikut musyafahah dengan
kyai untuk menambah materi hafalan berikutnya.
f. Sema’an dalam rangka menyambut hari-hari besar Islam. Tata cara sema’an ini sama dengan sema’an Ahad Legian.
 Deresan, yaitu santri membaca Al Qur’an sendiri-sendiri dan berkumpul pada waktu dan tempat tertentu guna mempersiapkan pelajaran berikutnya, atau mengulang hafalan-hafalan yang sudah dimiliki.
4. Progam Qiro’ah Sab’ah
Dalam membaca Al Qur’an selain bacaan-bacaan yang sering kita dengar telinga kita sehari-hari, terdapat pula cara membaca Al Qur’an yang lain yang dikenal dengan Qiro’ah Sab’ah (Qiro’ah yang tujuh). Di BUQ, Qiro’ah Sab’ah juga diajarkan sebagai program lanjutan setelah santri mengkhatamkan Al Qur’an bil ghoib dengan Qiro’ah Ashim yang notabene merupakan qiro’ah utama yang diajarkan mula-mula. Santri yang mengikuti program ini adalah santri yang memang dianggap mampu oleh pengasuh. Dengan demikian, tidak setiap santri yang telah khatam bil ghoib, melanjutkan ke program ini, metode pengajarannya adalah musyafahah /talaqqi dan santri menulis terlebih dahulu ayat-ayat Al Qur’an yang akan di baca di depan guru.
5. Program Madrasah Diniyyah
Islam adalah satu ajaran agama samawi yang telah memberikan aturan-aturan bagi pemeluknya untuk diamalkan Aturan-aturan tersebut meliputi amalan-amalan yang bersifat horisontal (mu’amalah) dan yang bersifat vertical (ubudiyyah).
Untuk dapat melaksanakan ajaran-ajaran tersebut, perlu adanya satu sarana dan prasarana untuk memperdalam pengetahuan agama, baik dalam bentuk klasikal (madrasah) maupun yang non klasikal (bandongan, sorogan). PP. BUQ pun memberikan program Madrasah Diniyyah untuk memberikan bekal kepada santri pengetahuan keagamaan. Program ini ditekankan kepada santri yang hanya mengikuti program Ta’limul Qur’an bin nazhor.
Madrasah Diniyyah ini terbagi menjadi beberapa kelas, yaitu kelas I, kelas II, kelas III, dan kelas Istimewa (untuk santri yang masih dalam persiapan untuk mengikuti program tahfizh atau sedang menjalaninya).
6. Program Pengajian Kitab Kuning
Program ini merupakan ekstra kurikuler untuk manambah wawasan pengetahuan keislaman santri. Pengajian ini dilakukan seminggu dua kali ba’da Maghrib dan disampaikan secara bandongan. Kitab yang dibaca bervariasi, seperti kitab-kitab tentang masalah tafsir, fiqih, tajwid, ulumul qur’an, akhlaq, hadis dan lain-lain.
7. Progam Pengajian Rutin Orang Tua
Dalam upaya untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang juga peduli terhadap masyarakat sekitarnya, PP. BUQ mengadakan pengajian rutin setiap Selasa dan Sabtu sore (ba’da Ashar) untuk para orang tua yang tinggal di seputar lingkungan pondok. Pengajian tersebut diberikan oleh para kyai dan ustadz dari PP. BUQ sendiri dan berkisar tentang masalah-masalah keagamaan praktis.

8. Unit Usaha Koprasi
Koprasi adalah soko guru perekonomian yang menjadi wadah untuk meningkatkan taraf ekonomi bagi para anggotanya dan menunjang berbagai kegiatan pesantren.
Dalam meningkatkan taraf ekonomi Pondok Pesantren BUQ dan memberikan bekal di bidang perekonomian dan keterampilan kepada santri, PP. BUQ telah membentuk koperasi yang jenis usahanya adalah bidang pertokoan, wartel, simpan pinjam, argo industri, muebel dan perbengkelan las.

9. Unit Ta’lif Wan-Nasyr
Telah jelas didepan bahwa keluarga pendiri Pondok Pesantren BUQ adalah pewaris tunggal dari KH. Mahfuzh bin Abdullah At Turmusi yang telah menulis kitab-kitab keagamaan yang menjadi bahan literatur bagi pengetauan keagamaan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Beranjak dari hal itu, Unit Ta’lif wan Nasyr PP. BUQ berupaya agar dapat menerbitkan kembali kitab-kitab karangan KH. Mahfuzh yang telah banyak diterbitkan, baik di dalam maupun di luar negeri. Disamping itu, unit ini juga berupaya menerbitkan kitab-kitab yang sudah disusun oleh beliau namun sampai saat ini masih belum dicetak. Percetakan ulang ini dimaksudkan untuk memasyarakatkan hasil karya beliau sehingga dapat membantu mereka yang ingin memahami dan menambah pengetahuan agama.

10. Progam Pengajian Rutin Orang Tua
Dalam upaya untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang juga peduli terhadap masyarakat sekitarnya, PP. BUQ mengadakan pengajian rutin setiap Selasa dan Sabtu sore (ba’da Ashar) untuk para orang tua yang tinggal di seputar lingkungan pondok. Pengajian tersebut diberikan oleh para kyai dan ustadz dari PP. BUQ sendiri dan berkisar tentang masalah-masalah keagamaan praktis.

11. Unit Usaha Koprasi
Koprasi adalah soko guru perekonomian yang menjadi wadah untuk meningkatkan taraf ekonomi bagi para anggotanya dan menunjang berbagai kegiatan pesantren.
Dalam meningkatkan taraf ekonomi Pondok Pesantren BUQ dan memberikan bekal di bidang perekonomian dan keterampilan kepada santri, PP. BUQ telah membentuk koperasi yang jenis usahanya adalah bidang pertokoan, wartel, simpan pinjam, argo industri, muebel dan perbengkelan las.

12. Unit Ta’lif Wan-Nasyr
Telah jelas didepan bahwa keluarga pendiri Pondok Pesantren BUQ adalah pewaris tunggal dari KH. Mahfuzh bin Abdullah At Turmusi yang telah menulis kitab-kitab keagamaan yang menjadi bahan literatur bagi pengetauan keagamaan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Beranjak dari hal itu, Unit Ta’lif wan Nasyr PP. BUQ berupaya agar dapat menerbitkan kembali kitab-kitab karangan KH. Mahfuzh yang telah banyak diterbitkan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Disamping itu, unit ini juga berupaya menerbitkan kitab-kitab yang sudah disusun oleh beliau namun sampai saat ini masih belum dicetak.cetakan ulang ini dimaksudkan untuk memasyarakatkan hasil karya beliau sehingga dapat membantu mereka yang ingin memahami dan menambah pengetahuan agama.